GEN-ID | Jakarta - Asosiasi Lawyer Muslim Indonesia (AL’MI) pada hari Senin tanggal 16 September 2025 resmi mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus dengan Nomor Nomor Perkara : 619/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst Gugatan ini diajukan untuk dan atas nama Anthony Lee, seorang mahasiswa hukum di Podomoro University yang menjadi korban langsung kerugian materiil maupun inmateriil dalam aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang berlangsung pada 25 Agustus hingga 7 September 2025 di kawasan DPR RI dan sekitarnya.
Dalam gugatan tersebut, AL’MI menarik lima pihak sebagai Tergugat dan Turut Tergugat, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Tergugat I, Kapolda Metro Jaya sebagai Tergugat II, Kapolri sebagai Turut Tergugat I, Gubernur DKI Jakarta sebagai Turut Tergugat II, serta Presiden Republik Indonesia sebagai Turut Tergugat III.
Kelima pihak tersebut dinilai lalai, abai, bahkan melakukan tindakan represif dalam mengendalikan aksi demonstrasi, sehingga menimbulkan kerugian besar baik bagi masyarakat luas maupun bagi penggugat.
DPR RI digugat karena dianggap tidak menjalankan fungsi legislasi secara terbuka, mengabaikan aspirasi publik, serta menimbulkan eskalasi dengan sikap tidak pantas anggota dewan di tengah gelombang protes. Kapolda Metro Jaya didalilkan melakukan tindakan represif, penggunaan kekerasan yang berlebihan, serta lalai dalam melindungi fasilitas publik. Sementara Kapolri turut digugat berdasarkan prinsip command responsibility, karena gagal mengawasi aparat di bawahnya. Gubernur DKI Jakarta dianggap lalai menjalankan kewajiban menjaga ketertiban umum dan fasilitas publik di wilayahnya, sedangkan Presiden RI sebagai penanggung jawab tertinggi pemerintahan dan aparat negara dinilai abai dalam memberikan arahan, kebijakan, dan pengawasan untuk mencegah terjadinya benturan sosial yang berujung kerusuhan.
Akibat kelalaian dan tindakan represif tersebut, kerugian yang timbul sangat besar. Kerugian materiil mencakup rusaknya fasilitas publik seperti halte TransJakarta, pos polisi, lampu lalu lintas, pagar jalan, serta berbagai sarana transportasi umum yang merupakan aset vital masyarakat. Sedangkan kerugian immateriil berupa hilangnya rasa aman, trauma, ketakutan, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara sebagai pelindung rakyat. Total kerugian ditaksir mencapai Rp 2,45 triliun, terdiri dari Rp 1,05 triliun kerugian materiil dan Rp 1,4 triliun kerugian immateriil.
Dasar hukum gugatan ini mengacu pada Pasal 1365, 1366, dan 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perbuatan melawan hukum, serta berbagai ketentuan konstitusi seperti Pasal 28E, 28G, 28H, 28I, dan Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, gugatan juga mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta berbagai putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa negara tidak kebal hukum (state liability) dan dapat dimintakan pertanggungjawaban perdata apabila lalai melindungi hak-hak warga negara.
Dalam keterangannya, AL’MI menegaskan bahwa gugatan ini diajukan sebagai bentuk upaya menegakkan prinsip rule of law, di mana tidak ada seorang pun, termasuk pejabat maupun institusi negara, yang berada di atas hukum. “Negara wajib melindungi rakyat, bukan menimbulkan rasa takut. Setiap tindakan represif maupun kelalaian pemerintah yang merugikan rakyat adalah bentuk Perbuatan Melawan Hukum, dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum,” tegas tim kuasa hukum AL’MI.
Dengan adanya gugatan ini, AL’MI berharap agar pengadilan dapat memberikan putusan yang adil, memulihkan hak-hak konstitusional masyarakat, dan memastikan agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi di masa depan. Gugatan ini juga diharapkan menjadi pengingat bagi seluruh penyelenggara negara bahwa amanat konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia harus dijalankan secara sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar formalitas.
(Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar