Notification

×

Iklan

Iklan

Ajip Rosidi: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (5)

Sabtu, Agustus 01, 2020 | 12.46 WIB | Last Updated 2020-08-01T05:46:57Z
Oleh: Noorca M. Massardi


















Suatu ketika, kami kehilangan kontak dengan Bada. Ternyata, Bada sudah meninggalkan Ubud, dan bekerja di sebuah perusahaan Jepang di bilangan Cikarang, Bekasi, untuk beberapa tahun. Pada suatu saat berikutnya, ketika kami liburan ke Jogja, entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba Nundang menghubungi saya, dan mengajak saya ke Pabelan, untuk menemui ayahandanya, Kang Ajip Rosidi, yang saat itu kebetulan sedang di rumahnya di Pabelan, Mungkid, Magelang. Nundang pun menjemput saya ke Jogja. Setelah bertemu dan mengobrol beberapa waktu dengan Kang Ajip, Nundang memperkenalkan saya pada perupa Sony Santosa, asal Curup, Bengkulu.

Rupanya, Sony pernah tinggal di Ubud sejak 1989, sebelum kemudian pindah ke Rumah Seni Elo-Progo Art Gallery, miliknya, pada 2006. Di lahan luas yang terletak di pertemuan Sungai Elo dan Sungai Progo, tak jauh dari rumah Kang Ajip, pada setiap bulan purnama, Sony memang selalu menyelenggarakan pelbagai pentas seni, musik dan teater. Acara itu selalu diakhiri dengan pertunjukan “melukis langsung” yang dilakukan Sony, diiringi musik, sebagai performance art di dalam “teater sumur.” Ya, tempat semua peristiwa seni itu memang berlangsung di dalam lubang besar seperti sumur yang dalam, dengan penonton duduk di lingkaran atasnya, sambil melihat ke bawah, seperti menonton pertunjukan Tong Setan.

Beberapa tahun kemudian saya mendapat kabar bahwa Bada sudah tidak di Cikarang lagi. Bada sudah kembali ke Pabelan, mengurus rumah makan milik keluarga, dan sekaligus membuka warung Kopi Mpat, di lahan milik keluarganya yang sangat luas, dengan pemandangan sawah dan kolam ikan, serta panorama bayangan cungkup Candi Borobudur di kejauhan. Kami pun beberapa kali mampir ke tempat yang menyajikan pemandangan indah itu tertutama ketika matahari terbit dan saat matahari tenggelam. Ketika itulah, bila sedang beruntung, kami bisa bertemu dan mengobrol satu dua jam dengan Kang Ajip, di rumahnya yang berpekarangan luas, dengan perpustakaan berisi ribuan buku dan puluhan lukisan, di sebuah bangunan yang terpisah dengan rumah tinggalnya.

Lama tak berkomunikasi, pada suatu hari, Nundang menelepon saya, meminta tolong agar saya bersedia menjadi pembicara tamu sekaligus ”menemani” dua penyair pemenang lomba haiku nasional Jepang. Mereka akan membuat seminar tentang haiku di Universitas Darma Persada (Unsada) Bekasi, yang merupakan universitas kerjasama dengan Jepang, dan dibangun atas inisiatif Ir. Ganjar Kartasasmita, menteri semasa Orde Baru. Semula, karena saya tidak paham haiku, saya sempat menolak. Namun, Nundang setengah memaksa, sehingga saya pun bersedia dan hadir. Maka, pada Jumat, 16 Desember 2016 itu, alhamdulillah, untuk pertama kalinya, saya mengenal haiku dari dekat dan kemudian menekuni puisi klasik Jepang tiga baris dengan format 5-7-5 suku kata atau 17 sukukata itu.

Berkat pengenalan itu pula, saya kemudian menulis dua kumpulan puisi dalam format haiku bebas – yang saya sebut sendiri sebagai “hai aku” – karena saya tidak (ingin) selalu menggunakan kigo (penanda waktu) dan kireji (kata kunci akhir/kesimpulan/kejutan), yang merupakan prasyarat dalam haiku klasik. Kumpulan puisi pertama saya "Hai Aku Sent To You" yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama (GPU), diluncurkan pada Februari 2017. Kumpulan puisi kedua saya, "Hai Aku," yang diterbitkan Prenada Media, diluncurkan pada Agustus 2017. Dua kumpulan puisi “resmi” saya yang pertama dan kedua itu, bisa diterbitkan pada tahun yang sama, dan sempat diacarakan di Jakarta, Jogja, Bali dan Lombok.

Selanjutnya...
Ajip Rosidi: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (6)

×
Berita Terbaru Update