Oleh: Noorca M. Massardi
Kedekatan saya dengan Kang Ajip, bahkan kemudian dengan keluarganya, pada belasan tahun belakangan ini, boleh disebut terjadi secara kebetulan. Pada akhir 2005, dalam salah satu liburan rutin ke Bali, saya sempat mampir ke Ubud. Di ARMA Galeri, milik Agung Rai, saya berkenalan dengan Rangin Sembada, yang biasa dipanggil Bada. Bada, yang ternyata merupakan putra kelima Kang Ajip, saat itu tengah menjadi pengelola acara di ARMA Galeri. Keberadaan Bada, yang sempat lama tinggal dan sekolah di Jepang, mengikuti sang ayah, Kang Ajip Rosidi (yang sejak 1981 diundang sebagai Guru Besar Tamu Bahasa Indonesia di Osaka) di desa Ubud itu, mungkin ada hubungannya dengan putri bungsu Kang Ajip, Titis Nitiswari, yang membuka warung makan “Ige Lanca” di Jalan Ubud Raya, di seberang Neka Galeri. Dan saya sempat beberapa kali makan di situ, sebelum tahu siapa pemiliknya.
Pada Februari-Maret 2006, begitu ada kesempatan dan rezeki, saya memutuskan untuk tinggal sementara di Ubud, karena ingin menyelesaikan bab akhir novel "September," yang proses penulisannya sempat terhenti hampir empat tahun. Sebelumnya, naskah itu sempat dimuat sebagai cerita bersambung di harian "Media Indonesia", dengan judul "Perjalanan Darius," namun dihentikan di tengah jalan, ketika kisahnya sudah memasuki pengungkapan ihwal siapa sesungguhnya yang berada di balik kudeta bulan September, sebelum memasuki bab terakhir.
Untuk bisa tinggal di Ubud, tentu saya harus menghubungi Bada, satu-satunya orang yang saya kenal di sana. Ternyata, Bada sudah berhenti dari ARMA Galeri, dan saat itu tengah mengelola warung makan “Biah Biah,” di Jalan Gautama, milik seorang warga Jepang, yang juga seorang perupa, Jun Sakata, asal Yokohama. Jun kabarnya sudah memutuskan untuk tinggal di Ubud hingga akhir hayatnya. Namun, saat itu Bada mengatakan akan berlibur ke Jepang untuk beberapa lama. Sehingga, villa yang disewanya di banjar Kutuh Kaja, Ubud, kosong. Saya pun diizinkan tinggal di lantai atas villa itu selama dua bulan, Februari-Maret, secara gratis, ditemani dua ekor anjing milik Bada, yang selalu mengawal saya selama di rumah.
Villa itu berdiri di tengah lahan luas dengan kontur tanah naik turun, dengan banyak pohon besar dan rindang, yang bila magrib tiba, suasananya sangat sepi, gelap, dan cukup menyeramkan. Apalagi saya hanya tinggal sendirian. Pada kesempatan itulah, saya kemudian berkenalan dengan putra keempat Kang Ajip, Nundang Rundagi, yang tengah bolak-balik urusan bisnis, Sumba-Lombok-Bali-Magelang-Jatiwangi-Jakarta.
Saya juga kemudian berkenalan dengan Ruslan Wiryadi, asal Cikarang, Bekasi, pemilik dan pendiri majalah gratis "Ubud Community," serta Dewa Putu Suardana, keponakan pemilik villa, yang setiap kali datang merawat dan membersihkan kompleks itu.
Selesai merampungkan "September" pada 11 Maret 2006, saya mengirimkan naskah itu ke Penerbit Tiga Serangkai, Solo. Alhamdulillah, buku itu bisa terbit sesuai waktu yang saya minta, dan launching-nya dilakukan pada awal Oktober 2006 di Jakarta Pusat, dengan pembahas Kochi Kaoru, akademisi dari Tokyo, teman Yudhistira, yang baru saya kenal.
Sejak itu, saya selalu berkomunikasi melalui telepon genggam, baik dengan Bada maupun dengan Nundang. Lalu, ketika saya mendapat kesempatan diajak kerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud, untuk menyiapkan dan menggelar acara tahunan "Anugrah Kebudayaan," saya pun berkenalan dengan arkeolog Titi Surti Nastiti, yang bekerja di salah satu Direktorat, dan ternyata adalah putri kedua Kang Ajip. Maka komunikasi dengan putra-putri Kang Ajip pun terjalin, kadang dalam basa Sunda, kadang dalam Bahasa Indonesia. Apalagi kemudian saya dan Rayni N. Massardi, makin sering bolak-balik Jakarta-Bali, hampir tiap dua bulan sekali. Bahkan ketika ke Lombok pun, kami sempat berjumpa dengan Nundang, yang kebetulan sedang mampir di sana.
Selanjutnya...
Ajip Rosidi: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (5)
Kedekatan saya dengan Kang Ajip, bahkan kemudian dengan keluarganya, pada belasan tahun belakangan ini, boleh disebut terjadi secara kebetulan. Pada akhir 2005, dalam salah satu liburan rutin ke Bali, saya sempat mampir ke Ubud. Di ARMA Galeri, milik Agung Rai, saya berkenalan dengan Rangin Sembada, yang biasa dipanggil Bada. Bada, yang ternyata merupakan putra kelima Kang Ajip, saat itu tengah menjadi pengelola acara di ARMA Galeri. Keberadaan Bada, yang sempat lama tinggal dan sekolah di Jepang, mengikuti sang ayah, Kang Ajip Rosidi (yang sejak 1981 diundang sebagai Guru Besar Tamu Bahasa Indonesia di Osaka) di desa Ubud itu, mungkin ada hubungannya dengan putri bungsu Kang Ajip, Titis Nitiswari, yang membuka warung makan “Ige Lanca” di Jalan Ubud Raya, di seberang Neka Galeri. Dan saya sempat beberapa kali makan di situ, sebelum tahu siapa pemiliknya.
Pada Februari-Maret 2006, begitu ada kesempatan dan rezeki, saya memutuskan untuk tinggal sementara di Ubud, karena ingin menyelesaikan bab akhir novel "September," yang proses penulisannya sempat terhenti hampir empat tahun. Sebelumnya, naskah itu sempat dimuat sebagai cerita bersambung di harian "Media Indonesia", dengan judul "Perjalanan Darius," namun dihentikan di tengah jalan, ketika kisahnya sudah memasuki pengungkapan ihwal siapa sesungguhnya yang berada di balik kudeta bulan September, sebelum memasuki bab terakhir.
Untuk bisa tinggal di Ubud, tentu saya harus menghubungi Bada, satu-satunya orang yang saya kenal di sana. Ternyata, Bada sudah berhenti dari ARMA Galeri, dan saat itu tengah mengelola warung makan “Biah Biah,” di Jalan Gautama, milik seorang warga Jepang, yang juga seorang perupa, Jun Sakata, asal Yokohama. Jun kabarnya sudah memutuskan untuk tinggal di Ubud hingga akhir hayatnya. Namun, saat itu Bada mengatakan akan berlibur ke Jepang untuk beberapa lama. Sehingga, villa yang disewanya di banjar Kutuh Kaja, Ubud, kosong. Saya pun diizinkan tinggal di lantai atas villa itu selama dua bulan, Februari-Maret, secara gratis, ditemani dua ekor anjing milik Bada, yang selalu mengawal saya selama di rumah.
Villa itu berdiri di tengah lahan luas dengan kontur tanah naik turun, dengan banyak pohon besar dan rindang, yang bila magrib tiba, suasananya sangat sepi, gelap, dan cukup menyeramkan. Apalagi saya hanya tinggal sendirian. Pada kesempatan itulah, saya kemudian berkenalan dengan putra keempat Kang Ajip, Nundang Rundagi, yang tengah bolak-balik urusan bisnis, Sumba-Lombok-Bali-Magelang-Jatiwangi-Jakarta.
Saya juga kemudian berkenalan dengan Ruslan Wiryadi, asal Cikarang, Bekasi, pemilik dan pendiri majalah gratis "Ubud Community," serta Dewa Putu Suardana, keponakan pemilik villa, yang setiap kali datang merawat dan membersihkan kompleks itu.
Selesai merampungkan "September" pada 11 Maret 2006, saya mengirimkan naskah itu ke Penerbit Tiga Serangkai, Solo. Alhamdulillah, buku itu bisa terbit sesuai waktu yang saya minta, dan launching-nya dilakukan pada awal Oktober 2006 di Jakarta Pusat, dengan pembahas Kochi Kaoru, akademisi dari Tokyo, teman Yudhistira, yang baru saya kenal.
Sejak itu, saya selalu berkomunikasi melalui telepon genggam, baik dengan Bada maupun dengan Nundang. Lalu, ketika saya mendapat kesempatan diajak kerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud, untuk menyiapkan dan menggelar acara tahunan "Anugrah Kebudayaan," saya pun berkenalan dengan arkeolog Titi Surti Nastiti, yang bekerja di salah satu Direktorat, dan ternyata adalah putri kedua Kang Ajip. Maka komunikasi dengan putra-putri Kang Ajip pun terjalin, kadang dalam basa Sunda, kadang dalam Bahasa Indonesia. Apalagi kemudian saya dan Rayni N. Massardi, makin sering bolak-balik Jakarta-Bali, hampir tiap dua bulan sekali. Bahkan ketika ke Lombok pun, kami sempat berjumpa dengan Nundang, yang kebetulan sedang mampir di sana.
Selanjutnya...
Ajip Rosidi: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (5)