Kang
Ajip Rosidi memang luar biasa. Secara prestasi, tak ada seniman
budayawan Indonesia yang menyamainya. Bahkan mungkin fenomenanya cukup
langka di dunia. Seorang remaja otodidak yang terlalu lahap pada bacaan
apa saja. Selain ihwal sastra dan kebudayaan dalam Bahasa Indonesia dan
mungkin asing, juga mendalami ilmu pengetahuan, dan agama dunia, serta
sastra dan kebudayaan Sunda.
Kemampuannya mencerna segala yang dibacanya, dan kefasihannya menuliskan semua inspirasi kreatif yang dilahirkan dari bacaannya, itu telah menjadikannya dewasa sebelum waktunya. Tak aneh bila dalam usia remaja belasan tahun, namanya sudah sejajar dengan para sastrawan dan budayawan Indonesia terkemuka pada masanya, ketika paham dan praxis modernisme tengah melanda belahan bumi, termasuk Indonesia, pada dekade 1950-an.
Tak pelak, Kang Ajip adalah sorang jenius pada zamannya, yang tak terbandingkan. Ia juga jenius pada zaman saya dan kawan-kawan berkirprah pada era 1970-an. Dan, dia tetap jenius pada zaman berikutnya. Karena tak ada, atau belum ada lagi, tokoh yang mampu menandinginya hingga pada generasi milenial ini. Belum ada lagi seorang otodidak, yang tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, yang mampu menjadi guru besar luar biasa, dan guru besar tamu di bidang sastra dan budaya, serta menerima begitu banyak jabatan dan penghargaan. Baik di dalam maupun di luar negeri. Sungguh langka orang yang mampu menulis begitu banyak buku, dalam pelbagai bidang secara sekaligus, tanpa pernah putus, sejak usia 12 tahun hingga 82 tahun.
Ketokohan Kang Ajip pun tak hanya tercatat di bidang sastra dan bahasa. Tak hanya dalam Bahasa Indonesia dan basa Sunda. Tapi juga dalam dunia penerbitan dan perbukuan. Dalam dunia kepustakaan dan senirupa. Juga dalam dunia sejarah, pendidikan dan pengajaran. Serta dalam sejarah pusat kesenian dan kebudayaan.
Perhatian dan keprihatinannya pada sastra daerah, tidak hanya sastra Sunda, diwujudkannya dalam bentuk pemberian penghargaan dan apresiasi rutin tahunan: "Hadiah Rancage." Perhatiannya kepada para sastrawan generasi muda, telah memungkinkan para penyair / penulis muda di bawah generasinya, untuk berkiprah dan mendapatkan “pengakuan” melalui program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang menghelat acara “Penyair Muda di Depan Forum.” Sebuah forum yang membahas dan menerbitkan karya-karya para penyair generasi 1970-1980an. Termasuk saya, Yudhis, Adri Darmaji Woko, Handrawan Nadesul, Dami N. Toda, dan lain-lain.
Menerbitkan dan memimpin aneka majalah sastra dan kebudayaan sejak remaja hingga hari ini, Kang Ajip tidak hanya bisa berkomunikasi dengan segala kalangan, tapi juga memberikan perhatian langsung dan bukan hanya dengan kata-kata atau metafora. Karena sesungguhnyalah, Kang Ajip seorang yang sederhana, dan senang bercanda, sebagaimana umumnya orang Sunda. Ia juga tidak arogan sebagai tokoh terkemuka, dan tidak sok pamer dengan seluruh kepemilikan lahan dan rumahnya di pelbagai lokasi. “Saya tidak pernah mengejar jabatan dan kekayaan. Semua terserah kehendak Tuhan,” kata Kang Ajip selalu. Sesuatu yang terbuktikan sepanjang karir dan perjalanan usianya.
Meskipun demikian, Kang Ajip juga mempunyai kelebihan atau keunikan, atau mungkin juga kelemahan. Yakni, terlalu kaku dan keukeuh dalam sikap dan pendiriannya. Dalam banyak hal. Sesuatu yang selalu menjadi ciri utama orang-orang jenius yang otodidak tapi sukses. Termasuk merasa paling benar dan paling tahu. Namun, keteguhannya dalam memegang prinsip, itu tak menghalanginya untuk bergaul dengan segala kalangan. Untuk berbagi ilmu dan rezeki dengan yang membutuhkan. Kecuali dengan mereka yang tidak disukainya. Dan, yang ideologinya tidak sejalan dengannya.
Toh, kekurangan itu tak menghentikannya untuk selalu mendapatkan pelbagai gelar dan penghargaan. Baik dari dalam maupun dari luar negeri. Baik dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan akademisi. Tak aneh bila Kang Ajip selalu terlibat dalam pelbagai kegiatan sastra budaya Indonesia, Sunda, dan daerah. Kendati mungkin secara kualitatif, banyak orang lebih menggolongkan ketokohannya dan karya-karyanya sebagai seorang “generalis” ketimbang “spesialis.” Sehingga karya puisi dan kepenyairannya, tampak tidak terlalu menonjol dibanding para “penyair spesialis” lainnya, dan karenanya tidak banyak yang menjadi epigon-nya. Begitu pula untuk karya-karya cerita pendek dan novelnya. Termasuk karya telaah dan sejarah sastra dan kebudayaan yang ditulisnya.
Meskipun demikian, sebagai seorang generalis, Kang Ajip telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi ekosistem sastra dan kebudayaan Indonesia dan daerah. Juga keperintisannya dalam pelbagai bidang, seperti dalam penerbitan, pengarsipan, kepustakaan, dan pemberian aneka penghargaan.
Ringkasnya, Kang Ajip adalah seorang yang murah hati dan sangat konsisten. Baik dalam karya, semangat, dan ideologinya. Termasuk dalam gaya rambut dan raut wajahnya.
“Noorca, saudara kan lebih muda dari saya, kenapa rambutnya sudah putih, sementara rambut saya masih hitam dan asli?” kata Kang Ajip, setiap kali saya bertemu dengannya.
Ya, rambutnya memang selalu lurus, hitam dan asli, dengan tampilan wajahnya yang selalu muda, dan tak pernah berubah kendati termakan usia. Bahkan, ketika pada Rabu, 29 Juli 2020, pukul 22.20 wib, Allah Swt memangilnya pulang, pada usia 82 tahun.
“Saya betul-betul tidak menyangka bahwa umur saya bisa sampai 80 tahun,” kata Kang Ajip kepada saya di rumahnya.
Almarhum Ajip Rosidi dimakamkan hari Kamis 30 Juli, pukul 11.00 wib di halaman depan rumahnya, di Perpustakaan Jati Niskala, Desa Pabelan 1, Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Akhir kata, harus saya akui, kekaguman saya kepada Kang Ajip, mungkin karena sejak awal saya merasa, riwayat pendidikan, karir, dan minatnya pada segala bacaan, sebagai seorang otodidak, tidaklah jauh berbeda dengan saya: otodidak. Yang membedakannya hanyalah: garis tangan. Selamat jalan, Kang Ajip. Hatur nuhun atas segala perhatiannya. Semoga amal ibadah Kang Ajip diterima Allah SWT. Aamin.
Bintaro, 01 Agustus 2020
Kemampuannya mencerna segala yang dibacanya, dan kefasihannya menuliskan semua inspirasi kreatif yang dilahirkan dari bacaannya, itu telah menjadikannya dewasa sebelum waktunya. Tak aneh bila dalam usia remaja belasan tahun, namanya sudah sejajar dengan para sastrawan dan budayawan Indonesia terkemuka pada masanya, ketika paham dan praxis modernisme tengah melanda belahan bumi, termasuk Indonesia, pada dekade 1950-an.
Tak pelak, Kang Ajip adalah sorang jenius pada zamannya, yang tak terbandingkan. Ia juga jenius pada zaman saya dan kawan-kawan berkirprah pada era 1970-an. Dan, dia tetap jenius pada zaman berikutnya. Karena tak ada, atau belum ada lagi, tokoh yang mampu menandinginya hingga pada generasi milenial ini. Belum ada lagi seorang otodidak, yang tak menamatkan pendidikan sekolah menengah atas, yang mampu menjadi guru besar luar biasa, dan guru besar tamu di bidang sastra dan budaya, serta menerima begitu banyak jabatan dan penghargaan. Baik di dalam maupun di luar negeri. Sungguh langka orang yang mampu menulis begitu banyak buku, dalam pelbagai bidang secara sekaligus, tanpa pernah putus, sejak usia 12 tahun hingga 82 tahun.
Ketokohan Kang Ajip pun tak hanya tercatat di bidang sastra dan bahasa. Tak hanya dalam Bahasa Indonesia dan basa Sunda. Tapi juga dalam dunia penerbitan dan perbukuan. Dalam dunia kepustakaan dan senirupa. Juga dalam dunia sejarah, pendidikan dan pengajaran. Serta dalam sejarah pusat kesenian dan kebudayaan.
Perhatian dan keprihatinannya pada sastra daerah, tidak hanya sastra Sunda, diwujudkannya dalam bentuk pemberian penghargaan dan apresiasi rutin tahunan: "Hadiah Rancage." Perhatiannya kepada para sastrawan generasi muda, telah memungkinkan para penyair / penulis muda di bawah generasinya, untuk berkiprah dan mendapatkan “pengakuan” melalui program Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang menghelat acara “Penyair Muda di Depan Forum.” Sebuah forum yang membahas dan menerbitkan karya-karya para penyair generasi 1970-1980an. Termasuk saya, Yudhis, Adri Darmaji Woko, Handrawan Nadesul, Dami N. Toda, dan lain-lain.
Menerbitkan dan memimpin aneka majalah sastra dan kebudayaan sejak remaja hingga hari ini, Kang Ajip tidak hanya bisa berkomunikasi dengan segala kalangan, tapi juga memberikan perhatian langsung dan bukan hanya dengan kata-kata atau metafora. Karena sesungguhnyalah, Kang Ajip seorang yang sederhana, dan senang bercanda, sebagaimana umumnya orang Sunda. Ia juga tidak arogan sebagai tokoh terkemuka, dan tidak sok pamer dengan seluruh kepemilikan lahan dan rumahnya di pelbagai lokasi. “Saya tidak pernah mengejar jabatan dan kekayaan. Semua terserah kehendak Tuhan,” kata Kang Ajip selalu. Sesuatu yang terbuktikan sepanjang karir dan perjalanan usianya.
Meskipun demikian, Kang Ajip juga mempunyai kelebihan atau keunikan, atau mungkin juga kelemahan. Yakni, terlalu kaku dan keukeuh dalam sikap dan pendiriannya. Dalam banyak hal. Sesuatu yang selalu menjadi ciri utama orang-orang jenius yang otodidak tapi sukses. Termasuk merasa paling benar dan paling tahu. Namun, keteguhannya dalam memegang prinsip, itu tak menghalanginya untuk bergaul dengan segala kalangan. Untuk berbagi ilmu dan rezeki dengan yang membutuhkan. Kecuali dengan mereka yang tidak disukainya. Dan, yang ideologinya tidak sejalan dengannya.
Toh, kekurangan itu tak menghentikannya untuk selalu mendapatkan pelbagai gelar dan penghargaan. Baik dari dalam maupun dari luar negeri. Baik dari kalangan masyarakat maupun dari kalangan akademisi. Tak aneh bila Kang Ajip selalu terlibat dalam pelbagai kegiatan sastra budaya Indonesia, Sunda, dan daerah. Kendati mungkin secara kualitatif, banyak orang lebih menggolongkan ketokohannya dan karya-karyanya sebagai seorang “generalis” ketimbang “spesialis.” Sehingga karya puisi dan kepenyairannya, tampak tidak terlalu menonjol dibanding para “penyair spesialis” lainnya, dan karenanya tidak banyak yang menjadi epigon-nya. Begitu pula untuk karya-karya cerita pendek dan novelnya. Termasuk karya telaah dan sejarah sastra dan kebudayaan yang ditulisnya.
Meskipun demikian, sebagai seorang generalis, Kang Ajip telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi ekosistem sastra dan kebudayaan Indonesia dan daerah. Juga keperintisannya dalam pelbagai bidang, seperti dalam penerbitan, pengarsipan, kepustakaan, dan pemberian aneka penghargaan.
Ringkasnya, Kang Ajip adalah seorang yang murah hati dan sangat konsisten. Baik dalam karya, semangat, dan ideologinya. Termasuk dalam gaya rambut dan raut wajahnya.
“Noorca, saudara kan lebih muda dari saya, kenapa rambutnya sudah putih, sementara rambut saya masih hitam dan asli?” kata Kang Ajip, setiap kali saya bertemu dengannya.
Ya, rambutnya memang selalu lurus, hitam dan asli, dengan tampilan wajahnya yang selalu muda, dan tak pernah berubah kendati termakan usia. Bahkan, ketika pada Rabu, 29 Juli 2020, pukul 22.20 wib, Allah Swt memangilnya pulang, pada usia 82 tahun.
“Saya betul-betul tidak menyangka bahwa umur saya bisa sampai 80 tahun,” kata Kang Ajip kepada saya di rumahnya.
Almarhum Ajip Rosidi dimakamkan hari Kamis 30 Juli, pukul 11.00 wib di halaman depan rumahnya, di Perpustakaan Jati Niskala, Desa Pabelan 1, Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Akhir kata, harus saya akui, kekaguman saya kepada Kang Ajip, mungkin karena sejak awal saya merasa, riwayat pendidikan, karir, dan minatnya pada segala bacaan, sebagai seorang otodidak, tidaklah jauh berbeda dengan saya: otodidak. Yang membedakannya hanyalah: garis tangan. Selamat jalan, Kang Ajip. Hatur nuhun atas segala perhatiannya. Semoga amal ibadah Kang Ajip diterima Allah SWT. Aamin.
Bintaro, 01 Agustus 2020