Senkom dan BPBD Karawang Latih Santri Hadapi Bencana
GEN-ID ๐ฎ๐ฉ | KARAWANG – Pada pagi yang masih teduh, halaman Pondok Pesantren Sumber Barokah di Karawang mendadak berubah menjadi lokasi simulasi bencana. Para santri berhamburan keluar dari gedung bertingkat, sebagian menunduk dan melindungi kepala, sementara instruktur berteriak, “Gempa! Berlindung! Segera evakuasi!”
Hari itu, Rabu, 11 Juni 2025, lebih dari 350 santri mengikuti simulasi gempa bumi dan kebakaran dalam rangkaian program Ponpes Tangguh Bencana, hasil kolaborasi antara Sentra Komunikasi (Senkom) SAR Pusat, BPBD Kabupaten Karawang, serta pengurus pondok pesantren. Di tengah keterbatasan sumber daya dan ruang terbuka, kegiatan ini berupaya menjawab pertanyaan mendasar: seberapa siap lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren menghadapi bencana?
Membangun Ketangguhan dari Komunitas
Indonesia menduduki peringkat tinggi dalam daftar negara rawan bencana, dari gempa bumi hingga kebakaran permukiman padat. Namun, program mitigasi sering kali terbatas di sekolah umum atau fasilitas pemerintah. Pesantren, yang tersebar hingga ke pelosok dan menjadi tempat tinggal ribuan santri, nyaris luput dari perhatian.
“Kami ingin mengubah paradigma itu,” kata M. Syaiful, Deputi Senkom SAR Pusat, yang memimpin pelatihan selama dua hari, 11–12 Juni. Ia menyebut bahwa membangun ketangguhan harus dimulai dari komunitas-komunitas kecil dan institusi berbasis keagamaan, termasuk pesantren.
Para instruktur, yang terdiri dari profesional SAR dan praktisi kebencanaan seperti Sandi Setya Miharja, Jusuf Wibisono, Arizki Awalus Syiam, hingga Ahmad Bahtari, memberikan pelatihan teknis soal penyelamatan diri, penggunaan alat pemadam api ringan, hingga pengenalan struktur bangunan aman terhadap gempa.
Latihan simulasi dilakukan dengan skenario realistis: terjadi gempa, alarm berbunyi, api menjalar di dapur, dan jalur evakuasi sempit. Para santri bergerak dengan koordinasi, meski sebagian masih tampak bingung. Namun di balik kepanikan terencana itu, pesan penting sedang ditegakkan: tidak ada wilayah bebas risiko di negara ini.
BPBD dan Struktur yang Terdesentralisasi
Karawang adalah wilayah dengan potensi bencana cukup tinggi, baik karena wilayah industrialisasinya yang padat maupun kondisi geologisnya. Menurut Nunung Koswara, S.Sos., Kepala Seksi Kesiapsiagaan BPBD Karawang, bangunan pondok pesantren yang terdiri dari beberapa lantai menjadikan pelatihan ini sangat relevan.
“Ada ratusan pondok seperti ini di Karawang. Kalau tidak disiapkan dari sekarang, potensi korban akan besar ketika bencana datang,” ujarnya kepada Tempo.
BPBD, dalam skema kebijakan otonomi daerah, bertanggung jawab atas kesiapsiagaan lokal. Namun keterbatasan anggaran dan personel membuat pelatihan seperti ini langka. Kolaborasi dengan Senkom SAR dianggap sebagai solusi jangka pendek sekaligus eksperimen kebijakan berbasis kemitraan.
Sumber Daya yang Dipertaruhkan
Ponpes Sumber Barokah, dipimpin oleh Ir. H. Mustagfirin, adalah satu dari sedikit pesantren di Karawang yang bersedia membuka diri pada pelatihan intensif mitigasi bencana. Ia mengaku kegiatan ini memberikan “pengalaman langsung yang tak tergantikan” bagi para santri.
Namun, Mustagfirin juga menggarisbawahi minimnya infrastruktur keselamatan. “Kami belum punya jalur evakuasi yang ideal, apalagi APAR (alat pemadam api ringan) di setiap ruangan. Ini PR besar bagi kami.”
Menurut catatan internal BPBD Karawang, lebih dari 60 persen pesantren di wilayah tersebut tidak memiliki protokol bencana. Banyak di antaranya berdiri di kawasan padat, jauh dari akses pemadam kebakaran dan ambulans.
Narasi Baru dari Pesantren
Apa yang dilakukan Senkom SAR bersama BPBD dan pesantren ini bisa jadi awal dari perubahan lebih besar. Sigit Haryanto, Kepala Unit SAR Basarnas Karawang, menyebut kegiatan ini sebagai “langkah positif dari akar rumput.”
“Biasanya kami datang pasca-bencana. Tapi ini bentuk antisipasi. Sangat penting, dan jarang dilakukan,” katanya.
Sementara Joko Utomo, Sekretaris Senkom Kabupaten Karawang yang juga mewakili Biro PBSAR Jawa Barat, mengatakan pelatihan ini akan direplikasi ke pesantren lain. “Kami dorong konsep Ponpes Tangguh Bencana sebagai program nasional berbasis kultural. Santri bisa jadi relawan, bukan hanya korban,” ucapnya.
Lebih dari Sekadar Simulasi
Pelatihan di Ponpes Sumber Barokah bukan sekadar simbol kesiapan. Ia mengungkap kenyataan bahwa ribuan santri hidup di kawasan yang tidak didesain untuk tahan gempa, apalagi kebakaran. Ketika pemerintah pusat berbicara soal mitigasi berbasis data dan satelit, kehidupan sehari-hari pesantren justru bergulat dengan gas bocor, bangunan retak, dan koridor sempit.
Maka, saat alarm simulasi berbunyi dan para santri mengangkat tangan di atas kepala, ada harapan yang tumbuh di tengah keterbatasan: bahwa keselamatan adalah hak semua, bukan hanya milik sekolah formal atau warga kota.
Dan bahwa pesantren pun, jika diberi ruang dan pengetahuan, bisa menjadi garda depan dalam menghadapi bencana.
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar