Notification

×

Iklan

Iklan

Header Ads

Banjir dan Hoaks: Pelajaran Literasi Informasi dari Isu Wali Kota Langsa

Sabtu, Desember 20, 2025 | 19.39 WIB | Last Updated 2025-12-20T12:39:56Z

GEN-ID | Langsa — Di tengah situasi krisis, arus informasi sering kali bergerak lebih cepat daripada verifikasi fakta. Hal inilah yang terjadi saat banjir besar melanda Kota Langsa, Aceh, akhir November 2025 lalu. Sebuah narasi yang menyebutkan Wali Kota Langsa, Jeffry Sentana, “kabur” dari wilayah saat bencana sempat viral di media sosial dan memicu reaksi publik. Namun, setelah ditelusuri, informasi tersebut tidak didukung fakta yang terverifikasi dan masuk kategori hoaks.


Narasi tersebut bersumber dari unggahan akun personal di media sosial yang mengaitkan foto Wali Kota Langsa dengan aktivitas di luar daerah, khususnya di Medan, Sumatera Utara. Foto tersebut kemudian ditafsirkan seolah-olah kepala daerah tidak hadir saat warganya terdampak banjir. Padahal, hingga isu itu menyebar luas, tidak ada pernyataan resmi dari Pemerintah Kota Langsa maupun lembaga pemeriksa fakta independen yang membenarkan klaim tersebut.


Pakar komunikasi publik menilai, situasi darurat seperti bencana alam menjadi ruang subur bagi penyebaran disinformasi. Ketika akses informasi resmi terganggu, listrik dan jaringan komunikasi terputus, serta masyarakat berada dalam kondisi emosional, narasi yang belum terverifikasi mudah dipercaya dan dibagikan ulang.


“Dalam kondisi krisis, publik cenderung bereaksi cepat tanpa sempat melakukan verifikasi. Ini yang harus diwaspadai,” ujar seorang analis komunikasi publik dalam kajian literasi media.


Sejumlah media nasional dan regional juga mencatat bahwa klaim lokasi, waktu, dan konteks foto yang beredar tidak pernah diverifikasi secara independen. Artinya, foto yang viral tidak dapat dijadikan bukti keabsahan narasi bahwa Wali Kota Langsa meninggalkan wilayah saat bencana.


Klarifikasi akhirnya diperoleh melalui konfirmasi langsung media kepada Wali Kota Langsa Jeffry Sentana pada 5 Desember 2025. Dalam pesan singkat melalui WhatsApp, ia menegaskan bahwa informasi tersebut tidak benar.


“Hoaks itu, Bang. Saya dinas luar karena undangan Kementerian Dalam Negeri, bukan lari,” tulis Jeffry.


Ia juga memperlihatkan bukti undangan resmi dari Kementerian Dalam Negeri, yang menjelaskan bahwa kehadirannya di luar daerah merupakan bagian dari tugas pemerintahan yang telah dijadwalkan, dan waktunya bertepatan dengan bencana banjir di Aceh, termasuk Kota Langsa.


Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat tentang literasi digital dan etika bermedia sosial. Organisasi pemeriksa fakta dan pemerhati anti-hoaks mengingatkan pentingnya prinsip saring sebelum sharing, terutama di masa krisis.


Menyebarkan informasi yang belum terverifikasi tidak hanya berpotensi merusak reputasi seseorang, tetapi juga dapat memperkeruh suasana, menurunkan kepercayaan publik, dan mengganggu fokus penanganan bencana.


Di sisi lain, pemerintah dan berbagai pihak terus menegaskan bahwa penanganan pascabanjir di Langsa tetap berjalan, mulai dari pemulihan infrastruktur, distribusi bantuan logistik, hingga normalisasi layanan dasar, meskipun sempat terkendala kondisi lapangan dan akses informasi.


Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa bencana alam seharusnya menjadi momentum solidaritas, bukan ruang subur bagi disinformasi. Di era digital, tanggung jawab menjaga kebenaran informasi bukan hanya milik pemerintah atau media, tetapi juga seluruh masyarakat.


Dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap hoaks dan memperkuat budaya cek fakta, publik dapat berperan aktif menjaga suasana yang kondusif dan membantu proses pemulihan bersama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update