GEN-ID | Jakarta - Beberapa tahun lalu, dunia dikejutkan oleh istilah post-truth, yakni sebuah kondisi ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh daripada fakta objektif. Seiring perkembangan teknologi dan ekosistem media digital, kini muncul gejala yang lebih kompleks yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai neo–post truth.
Neo–post truth dapat dipahami dalam dua lapis. Pertama, sebagai kondisi ketika kebenaran objektif tetap ada tetapi kehilangan daya tanpa viralitas. Kedua, sebagai fase yang lebih ekstrem, ketika teknologi AI dan deepfake memungkinkan fabrikasi realitas itu sendiri, sehingga batas antara fakta dan fiksi semakin kabur.
Dalam kondisi neo–post truth, kebenaran tidak selalu ditolak secara terang-terangan. Fakta tetap tersedia, data dapat diakses, dan klarifikasi masih dimungkinkan. Namun, kebenaran kerap dipilah, dibingkai ulang, dan diperebutkan maknanya di ruang publik digital. Dalam praktiknya, kebenaran sering kali baru memiliki daya sosial ketika ia memperoleh perhatian luas atau menjadi viral. Tanpa sorotan media sosial, kebenaran objektif kerap kalah cepat dan kalah nyaring dibanding narasi yang lebih emosional dan mudah dikonsumsi.
Di saat yang sama, perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan dan deepfake menambah lapisan persoalan baru, karena memungkinkan lahirnya representasi realitas yang sepenuhnya direkayasa. Kondisi ini memperbesar ketidakpastian publik, bukan hanya tentang mana yang layak dipercaya, tetapi juga tentang apa yang benar-benar terjadi.
Media sosial dan algoritma platform digital kini telah berperan besar dalam membentuk persepsi publik. Informasi yang memicu kemarahan, empati, atau konflik lebih mudah menyebar dibanding penjelasan yang tenang dan prosedural. Akibatnya, kebenaran tidak lagi diuji melalui proses rasional, melainkan melalui jumlah like, share, dan view.
Kondisi ini menempatkan kebenaran objektif dalam dilema. Jika disampaikan secara kaku dan formal, ia diabaikan. Namun, jika terlalu mengikuti logika viral, ia berisiko kehilangan ketelitian dan konteks.
*Dampaknya bagi Demokrasi Kepolisian*
Fenomena neo–post truth berdampak nyata pada praktik democratic policing. Dalam prinsip democratic policing, legitimasi kepolisian tidak hanya bertumpu pada kewenangan hukum, tetapi juga pada kepercayaan publik, transparansi, dan akuntabilitas (Tyler, 2006).
Masalahnya, di era neo–post truth, legitimasi sering kali tidak dibangun melalui mekanisme institusional, melainkan melalui viralitas. Kasus-kasus penegakan hukum baru mendapat perhatian serius setelah ramai di media sosial. Klarifikasi resmi yang berbasis prosedur kalah cepat dibanding potongan video pendek yang emosional.
Polisi --harus diakui --berada dalam posisi sulit. Jika diam, dianggap tidak transparan, jika merespons cepat, dituduh reaktif dan pencitraan. Dalam situasi ini, kebenaran objektif tentang sebuah kasus sering terjebak di antara tekanan algoritma dan ekspektasi publik yang serba instan.
Neo–post truth menunjukkan bahwa kebenaran kini bukan sekadar soal benar atau salah, melainkan soal siapa yang paling dipercaya dan siapa yang paling terdengar. Kebenaran menjadi arena kontestasi antara negara, warga, media, dan platform digital.
Dalam konteks ini, democratic policing menghadapi tantangan besar. Penegakan hukum harus tetap akuntabel, tetapi juga mampu berkomunikasi secara terbuka dan manusiawi. Bukan untuk mengejar viralitas, melainkan untuk memastikan bahwa kebenaran tidak selalu datang terlambat.
*Menjaga Kebenaran di Tengah Hiruk-Pikuk Digital*
Neo–post truth bukan akhir dari kebenaran, tetapi ujian serius bagi demokrasi. Kebenaran objektif masih penting, namun ia perlu disampaikan dengan cara yang dapat dipahami publik luas tanpa kehilangan integritasnya.
Bagi institusi kepolisian dan negara hukum, tantangannya jelas, yaitu bagaimana tetap setia pada prosedur, sambil hadir secara komunikatif di ruang publik digital. Democratic policing hanya dapat bertahan jika kebenaran tidak sekadar benar, tetapi juga dipercaya.
Di era ketika viralitas sering lebih kuat daripada verifikasi, menjaga kebenaran adalah kerja sunyi yang menuntut keberanian, keterbukaan, dan konsistensi.
*) Penulis adalah Dewan Redaksi KEADILAN, Dosen dan Pengurus Harian PWI Jaya

Tidak ada komentar:
Posting Komentar