Notification

×

Iklan

Iklan

Header Ads

Ajip Rosidi: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (2)

Sabtu, Agustus 01, 2020 | 12.50 WIB | Last Updated 2020-08-01T05:50:02Z
Oleh: Noorca M. Massardi



Sebelum mengenalnya secara pribadi, tentu saya sudah tahu kiprah dan kehebatan Kang Ajip sebagai pengarang dan pegiat sastra, walau tidak banyak karyanya yang sempat saya baca hingga kini. Sebagai salah seorang penggagas dan pendiri Taman Ismail Marzuki (TIM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Akademi Jakarta (AJ), dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ – kini Institut Kesenian Jakarta – IKJ), Kang Ajip sudah menulis puluhan buku, baik puisi, cerita pendek, esei, novel dan pelbagai telaah serta sejarah sastra dan budaya. Termasuk sastra Sunda. Juga “mengayomi” para pelukis terkemuka Indonesia saat itu, dengan selalu membeli beberapa karya pelukis yang tidak terjual, atau yang memerlukan dana saat mereka berpameran di TIM, agar mereka bisa menyambung hidup dan berkarya selanjutnya.

Kebiasaan berbasa Sunda Kang Ajip dan Kang Atun (Ramadhan KH) di DKJ pada masa itu, ternyata sempat menimbulkan “masalah.” Apalagi, berdirinya PKJ-TIM pada 1968, itu awalnya memang dimotori banyak orang Sunda. Mulai dari Gubernur DKI Ali Sadikin, Ilen Surianegara, Ramadhan KH, dan Ajip Rosidi. Bahkan, mungkin tak banyak orang tahu, bahwa konsep Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) yang melahirkan TIM, DKJ, AJ, dan LPKJ, itu berasal dari tulisan Kang Ajip yang sebelumnya telah dimuat di Majalah Bulanan "Intisari."

Beberapa saat setelah Bang Ali dilantik Presiden Soekarno menjadi Gubernur DKI pada 1966, Bang Ali meminta konsep dan gagasan tentang apa yang bisa dia lakukan sebagai gubernur, untuk membantu kiprah para seniman budayawan Jakarta, yang saat itu selalu berkumpul di bilangan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Menyambut tawaran itu, karena belum tahu apa yang dimaksudkan dan diinginkan oleh Bang Ali, Kang Ajip pun menyerahkan tulisannya di majalah "Intisari" tersebut. Jadi, ketika Kang Ajip kemudian diminta datang untuk menghadap Bang Ali, bersama sejumlah tokoh Sunda dan seniman/budayawan lainnya, Bang Ali mengaku sangat terkesan pada tulisan Kang Ajip. Bang Ali yang menyetujui sepenuhnya gagasan dalam tulisan itu, lalu meminta Kang Ajip dan kawan-kawan, untuk menjabarkan tulisan itu menjadi proposal kongkret yang diserahkan beberapa waktu kemudian.

Setelah Pemda DKI menyetujui proposal itu, Bang Ali pun membangun PKJ TIM dengan seluruh ekosistemnya, di atas lahan sembilan hektare, yang sebelumnya dikenal sebagai Taman Raden Saleh dengan Planetarium-nya, milik Keluarga Pelukis Raden Saleh. PKJ TIM pun diresmikan pada 10 November 1968. Walau kondisi seluruh bangunan “sementara” itu tidak sesuai dengan keinginan para seniman-budayawan, baik secara arkitektur maupun fasilitas ruangan dan akustiknya, toh, wilayah bebas untuk berekspresi dan berkreasi secara gratis bagi para seniman-budayawan DKI dan Nasional, itu dapat terwujud. Dan kemudian mengilhami seluruh provinsi lain di Indonesia, untuk juga membangun pusat kesenian dan dewan kesenian serupa.

Selanjutnya...
Ajip: Jenius Pada Zamannya, Pada Zamanku, dan Pada Zaman (3)
×
Berita Terbaru Update