Notification

×

Iklan

Iklan

Header Ads

Uga Wiranto: Perempuan Sunyi di Balik Sang Jenderal dan Warisan Besar Wira Bhakti

Minggu, November 16, 2025 | 22.16 WIB | Last Updated 2025-11-16T17:20:59Z
Foto Hj. Uga Wiranto, SH., M.Sc. semasa hidup (Ist)

GENERASI-ID | Jakarta — Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan nasional atas wafatnya istri Jenderal TNI (Purn) Wiranto pada Minggu, 16 November 2025, ada bagian penting dari perjalanan hidup almarhumah yang jarang disebut: ia bukan sekadar istri seorang tokoh bangsa, tetapi juga pendiri lembaga pendidikan yang telah melahirkan generasi baru Indonesia - Yayasan Kebaktian Proklamasi.


Yayasan yang ia bangun dan besarkan itu menaungi SMA Terpadu Wira Bhakti, STIE Wira Bhakti, STISPOL Wira Bhakti, dan Universitas Wira Bhakti.
Di empat lembaga pendidikan itulah tapak pengabdian seorang Rugaiya Usman - atau Hj. Uga Wiranto, SH., M.Sc. - hidup dan tetap bekerja bahkan setelah beliau pergi.


Berita Duka yang Menggema Hingga Markas TNI

Hj. Uga wafat sekitar pukul 15.55 WIB di Bandung. TNI, pemerintah, dan berbagai tokoh nasional menyampaikan duka cita. Jenazah disemayamkan di rumah dinas pejabat tinggi TNI, di Bambu Apus, sebelum diterbangkan ke Solo untuk dimakamkan di Delingan, Karanganyar.

Di antara karangan bunga yang menumpuk dan barisan prajurit yang hormat berdiri, orang mungkin tidak menyadari bahwa perempuan yang tengah disemayamkan itu adalah pendiri institusi pendidikan yang sejak lama menjadi tempat menimba ilmu bagi ribuan anak bangsa.


Wanita yang Memilih Sunyi

Di media, publik lebih mengenal nama besar suaminya. Namun di lingkaran dalam keluarga dan kolega dekat, Hj. Uga dikenal sebagai perempuan yang memilih sunyi, menempatkan dirinya jauh dari keramaian panggung nasional.

Ia jarang tampil, tetapi justru di ruang-ruang sepi itu ia bekerja dan membangun - membina yayasan, mengelola sekolah, memastikan kualitas pendidikan berjalan, mendampingi keluarga, dan memberi arah bagi masa depan Wira Bhakti.


Pendidikan yang Jadi Jalan Pengabdian

Dengan latar belakang Sarjana Hukum (SH.) dan Master of Science (M.Sc.), ia memahami bahwa pendidikan adalah batu pijakan kemajuan bangsa.

Maka lahirlah SMA Terpadu, STIE, STISPOL dan Universitas Wira Bhakti.

Bangunan pertama Wira Bhakti berdiri dari idealisme sederhana:
pendidikan harus membuka pintu, bukan membangun tembok.

Di bawah kepemimpinannya, yayasan itu berkembang bukan sebagai institusi bisnis, melainkan sebagai wadah pengabdian.
Ia membina, mengarahkan, dan mengendalikan kebijakan akademik dan kelembagaan dengan ketenangan seorang ibu yang menginginkan anak-anaknya berhasil.

Jarang sekali pendiri lembaga pendidikan tetap memilih berada di balik layar. Hj. Uga adalah pengecualian.
Ia membangun, tetapi tidak perlu diketahui siapa.

Ia memutuskan, tetapi tidak ingin dipuji.

Ia hadir, tetapi tidak ingin difoto.


Pendamping Wiranto Sejak Usia Muda

Pertemuannya dengan Wiranto terjadi di masa awal penugasan sang perwira muda. Pernikahan mereka berlangsung tahun 1975. Sejak itu, ia mendampingi setiap fase perjalanan karier suaminya - mulai dari komandan peleton hingga Menko Polhukam.

Kehadirannya bukan sekadar peran istri. Ia adalah penjaga keseimbangan, tempat suaminya pulang dari hiruk-pikuk republik.

Ketika Wiranto menghadapi masa-masa sulit, ia-lah yang tetap memegang tangan sang jenderal.
Ketika suaminya berada dalam sorotan publik, ia-lah yang menciptakan ketenangan di belakang layar.

Dan ketika badai politik datang, ia tetap berdiri dengan ketegaran yang hanya dimiliki perempuan yang hidupnya ditempa doa dan kesabaran.


Ujian Kehidupan: Kepergian Sang Putra

Anak laki-laki mereka, Zainal Nur Rizky, meninggal dunia saat belajar di Afrika Selatan.
Duka itu membekas kuat.

Banyak orang tidak tahu bagaimana keluarga itu bertahan. Namun mereka yang dekat dengan Hj. Uga memahami:dialah pondasi yang menjaga keluarga tetap tegak.

Sosoknya tidak pernah meninggi atau runtuh. Ia hanya berjalan pelan dan teguh, menjalani setiap takdir dengan wajah yang sama: tenang.


Sisi Lain yang Jarang Diceritakan

Dalam sejumlah kegiatan sosial, Hj. Uga dikenal aktif mendukung program-program kemanusiaan.
Ia pernah terlibat dalam kegiatan Palang Merah Indonesia di lingkungan Jakarta, dan dalam banyak kesempatan membantu penyelenggaraan kegiatan sosial yang bersinggungan dengan Wira Bhakti.

Dalam beberapa cerita sahabat dekatnya, ia digambarkan sebagai perempuan yang:
ramah namun tegas,
religius namun tidak kaku,
berwawasan luas namun tetap rendah hati.

Rumahnya terbuka untuk banyak orang, tetapi cerita hidupnya hanya diketahui segelintir keluarga.

Warisan Abadi: Wira Bhakti

Ketika pengantar terakhir dibacakan di rumah duka, banyak yang mungkin tidak sadar bahwa perempuan yang dikawal pasukan kehormatan itu telah meninggalkan warisan yang nilainya jauh lebih panjang dari usia manusia: pendidikan.


SMA, STIE, STISPOL dan Universitas Wira Bhakti akan terus hidup.

Setiap mahasiswa yang lulus dari kampus itu membawa sedikit jejak pemikiran dan pengabdian Hj. Uga.
Setiap kelas yang berdiri tegak adalah saksi kerja seorang perempuan yang tidak ingin disebut-sebut.

Setiap buku yang dibuka para siswa adalah perpanjangan tangan dari cita-cita pendirinya:
bahwa Indonesia harus berdiri di atas fondasi ilmu dan akhlak.


Akhir yang Sunyi untuk Perjalanan Panjang

Pada akhirnya, Hj. Uga pergi dengan cara yang sama seperti ia hidup: tenang, tidak banyak bicara, tetapi meninggalkan makna yang dalam.

Tidak ada pidato panjang, tidak ada sorotan kamera berlebihan.
Hanya doa keluarga, barisan prajurit, dan deras ucapan belasungkawa dari mereka yang pernah merasakan pengaruhnya - langsung atau tidak.

Di dunia yang gemar merayakan kebisingan, kepergian Uga Wiranto mengingatkan kita bahwa pengabdian paling besar sering lahir dari mereka yang bekerja diam-diam.

Seperti pendidikan, yang senyap namun mengubah nasib ribuan manusia.

Dan seperti cinta, yang tidak terdengar tetapi kuat menjaga sebuah keluarga berjalan jauh.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update